Kaum Buruh dan Muda, Derita Kita Sudah Seleher!
“Kerja sebagai pencipta nilai-guna, adalah prasyarat eksistensi manusia … sebuah kebutuhan alami yang abadi yang menjadi prantara metabolisme antara manusia dan alam.” (Karl Marx)
![]() |
Doc: Arah Juang |
“Kerja adalah aktivitas hidup kita yang utama. Sejak usia masih sangat muda, kita telah bersiap-siap untuk itu. Seluruh kegiatan bersekolah kita . untuk itu. Kita menghabiskan seluruh kehidupan aktif kita di dalamnya. Kerja adalah basis yang melandasi seluruh masyarakat. Tanpanya, tidak akan ada makanan, minuman, pakaian, rumah, sekolah, kebudayaan, maupun ilmu-pengetahuan. Dalam makna yang paling nyata, kerja adalah hidup itu sendiri. Merampas hak bekerja seseorang tidak hanya berarti merampas haknya untuk mendapat standar hidup minimum. Merampas hak bekerja seseorang sama saja dengan melucuti harga dirinya, memisahkannya dari masyarakat beradab, membuat hidupnya sia-sia dan tak bermakna. Ketiadaan lapangan kerja adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.” (Alan Woods dan Ted Grant)
Pada abad ke-21, umat manusia berdiri di persimpangan jalan. Ketika pencapaian sains, teknik, dan industri menyediakan basis bagi perkembangan kemanusiaan, kesejahteraan, dan kebudayaan; kekuasaan borjuis justru menenggelamkan kita dalam lembah kebodohan, kemiskinan, peperangan, dan kejahatan. Mesin-mesin dan teknologi tidak diterapkan dalam konteks rencana produksi rasional, harmonis, dan dikontrol secara demokratik oleh kaum produsen, tetapi dioperasikan secara irasional berdasarkan kekuatan gelap pasar yang anarkistik. Intelektual borjuis ternama—Nouriel Roubini—bahkan secara terbuka mengakuinya dengan menulis buku mengenai “Ancaman Besar” yang meramalkan bukan sekadar tentang ‘AS dan Dunia’ yang sedang menuju resesi ‘panjang dan buruk’, tetapi juga menegaskan kepesimisannya tentang ketidakmampuannya ‘melihat adanya masa depan yang bahagia di mana ada pekerjaan baru yang menggantikan pekerjaan yang direnggut oleh robot automaton’. The Wall Street Journal lantas menemuinya untuk wawancara dan Roubini segera menyampaikan: ‘kapitalisme telah memasuki lingkaran setan di mana kelebihan kapasitas (overproduksi), turunnya permintaan konsumen, dan tingkat utang yang tinggi mendorong kejatuhan bursa saham, harga aset, dan perekonomian riil’. Dalam masyarakat kapitalis kestabilan sosial-ekonomi tidaklah ditajuk dari jumlah populasi melainkan daya beli. Sementara dominasi imperialis menjadi fakta yang menghancurkan pasar dunia dan melemahkan pertahanan ekonomi penduduk di pelbagai negeri. Lihat saja bagaimana 6 ahli waris individu Walmart mempunyai kelimpahan harta yang setara dengan 50 persen penduduk terbawah. Sekarang kekayaan cabul para konglomerat dan bangkir telah membukit, namun tak diinvestasikan untuk kegiatan produktif melainkan sektor-sektor parasit. Mereka menumpuk uangnya di bank dan meminjamkannya bukan untuk berinvestasi di pabrik, menciptakan mesin dan teknologi baru, tetapi berusaha menggandakan modalnya dengan berspekluasi di pasar saham atau ekonomi kasino—merger, akuisisi, obligasi, dan sebagainya. Tujuannya adalah memupuk laba secepat-cepatnya dan sebesar-besarnya dengan mendominasi perusahaan-perusahaan lainnya tanpa harus terlibat dalam aktivitas produksi. Sebagai akibatnya maka upah riil menurun, permintaan jatuh, dan berujung kehancuran investasi.
Begitulah kapitalis mengalihkan modal-modalnya dari sektor ekonomi produktif menuju sektor non-produktif: keuangan, asuransi, properti, derivatif, dan beragam aktivitas tidak sehat lainnya. Semuanya berlangsung di atas dominasi kapital finans yang menyedot sebanyak-banyaknya proporsi kekayaan yang diciptakan oleh sektor-sektor perekonomian sekelilinya. Ketika basis perekonomian riil di bawah kapitalisme terletak pada produksi dan pertukaran komoditas, tapi kedigdayaan kapital-finans justru meloncati prosesnya melalui perjudian saham yang merupakan kapital-fiktif: uang menggandakan dirinya tanpa nilai yang setara karena tak terlibat dalam aktivitas produksi yang sejati. Maka nilai-lebih mereka hisap menggunakan alkimia finansial yang menasbihkan Tritunggal Mahakudus Kapitalisme: “Sewa, Bunga, dan Laba”—yang diekspropriasi dari kerja-keras kelas pekerja melalui pemberlakukan sewa tanah atau rumah-rumah buruh, bunga-bunga bank, dan laba-laba industrialis untuk para bankir. Dalam kondisi inilah selama satu setengah dekade terakhir situasi dunia ditandai dengan krisis di semua tingkatan: ekonomi, sosial, politik dan militer. Setelah rongrongan krisis 2007-2008, kita hidup di tengah kepungan penghematan, pergolakan, perang, revolusi dan kontra-revolusi yang berkecamuk. Kapitalisme global tersungkur dan kaum kapitalis internasional panik. Sejak 2007, 35 negara kapitalis maju yang tergabung dalam OECD mendapati total utang publiknya telah mencapai 50 triliun dolar AS dan di zona euro total defisitnya sudah memasuki 8,6 trilun euro. Pada 2009, semua negeri akhirnya berlomba-lomba memperkenalkan tindakan proteksionis untuk menyelamatkan negerinya dengan cara membatasi negara lainnya: 340 kasus diperkenalkan oleh negara-negara G-20, 177 kasus ditayangkan negara-negara G-7 plus Australia, dan 111 kasus dipertontonkan negara-negara BRICS. Periode ini pun dibuka dengan intensifikasi perjuangan kelas dalam hubungan antara negara melalui perang dagang dan konflik internasional. IMF melaporkan bahwa tahun 2020 perekonomian dunia memasuki fase tersuram: PDB AS turun sebesar 6 persen, Eropa 3 persen, Cina 14 persen, pasar-pasar negara berkembang 10 persen, dan dunia secara keseluruhan 6 persen. Simultan dengan itulah akhir 2019-21/22 amukan Covid-19 berhasil menyingkapkan segala kontradiksi dari kepemilikan pribadi dan negara-bangsa secara mengerikan: kelimpahan dan kesenjangan kekayaan, kemiskinan dan pengangguran umum, pelacuran dan onggokan kriminalitas, kerusakan lingkungan dan kesehatan, darurat militer dan penaklukan. Pada 1948, lewat Manifesto Komunis-nya Marx dan Engels menggambarkan jenis krisis yang sedang kita hadapi sekarang:
“Dalam krisis-krisis ini, sebagian besar tidak hanya dari produk-produk yang ada, tetapi juga dari tenaga-tenaga produktif yang diciptakan sebelumnya, dihancurkan secara berkala. Dalam krisis ini, pecah sebuah epidemi yang, di semua zaman yang sebelumnya, akan tampak absurd—epidemi kelebihan produksi. Masyarakat kemudian menemukan dirinya kembali ke keberadaan barbarisme sesaat [sebelum kapitalisme digulingkan]: tampaknya seolah-olah kelaparan, perang kehancuran universal telah memutus pasokan segala kebutuhan hidup: industri dan perdagangan terlihat dihancurkan dan mengapa? Karena terlalu banyak peradaban, terlalu banyak sarana penghidupan, terlalu banyak industri, terlalu banyak perdagangan. Tenaga-tenaga produktif yang tersedia bagi masyarakat tidak lagi memajukan syarat-syarat keberadaan milik borjuis. Kondisi masyarakat borjuis terlalu sempit untuk menampung kekayaan yang mereka ciptakan. Dan bagaimana kaum borjuasi mengatasi krisis ini? Di satu pihak dengan penghancuran paksa sejumlah besar tenaga produktif; di pihak lain, dengan penaklukan pasar-pasar baru, dan dengan eksploitasi yang lebih menyeluruh atas pasar-pasar lama. Artinya, dengan membuka jalan bagi krisis yang lebih luas dan lebih merusak, dan dengan mengurangi sarana pencegahan krisis.”
Inilah saatnya investasi merosot, pabrik ditutup, pengangguran beronggok, kemiskinan merebak, pengetahuan dan keterampilan tersumbat, hingga tenaga produktif mandek. Produktivitas di negara-negara kapitalis maju mengalami stagnasi pertumbuhan rata-rata 0,6 persen per tahun dan di negara-negara kapitalis terbelakang jauh lebih mandek. Sejak 2013, setiap 1 persen pertumbuhan global hanya menghasilkan kenaikan perdagangan sebesar 0,7 persen. Hasilnya adalah volume perdagangan dunia semakin melemah: sebelum 2008 tumbuh 6 persen per tahun menjadi 1,2 persen selama 2015. Di seluruh dunia tingkat kepuasan terhadap pemerintahan borjuis akhirnya menurun drastis—Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Cina adalah yang teranjlok. Konsolidasi partai-partai tradisional—borjuis dan sosial-demokrat (reformis)—pecah dan berakhir buruk di arena elektoral. Media-media propaganda konglomerat, bankir dan ahli strategi kapital pun silih-berganti mengabarkan ancaman pemberontakan massa-rakyat. Pemerintah-pemerintah dan parlemen-parlemen borjuis lantas membuat aneka kebijakan untuk memulihkan perekonomian sekaligus menekan dan mengantisipasi ledakan gerakan anti-kapitalis. Desember 2015, Pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No. 78 tentang Pengupahan dan Formula Kenaikan Upah Minimum yang tidak berdasarkan kebutuhan hidup layak dan menolak keterlibatan serikat buruh. Tahun 2016, Pemerintah Taiwan menyahkan UU Satu Hari Istrahat dan Satu Hari Fleksibel yang memotong tujuh hari libur nasional, meningkatkan jam lembur, menurunkan waktu istrahat minimum antara shift, dan semakin mengeksploitasi buruh. Pada 2017, Pemerintah Rusia mengeluarkan Undang-Undang Anti-Bahasa Minoritas di sekolah dan kampus-kampus untuk mempertahankan penindasan nasional terhadap bangsa-bangsa kecil dan melemahkan aktivitas politik serta persatuan para pelajar dengan pekerja. Akhir 2018, Pemerintah Hongaria menciptakan aturan yang terkenal sebagai UU Perbudakan yang meningkatkan jumlah lembur dari 250 menjadi 400 jam per minggu (setara dengan 8 jam per hari) dan membebaskan keterlambatan pembayaran gaji-lembur hingga 3 tahun. Awal 2019, Pemerintah Hongkong memaksakan pembahasan RUU Ekstradisi untuk melarang protes dan membuang siapapun yang dituding mengusik ketenteraman kelas borjuis ke Cina daratan.
Krisis kapitalisme di mana-mana telah menyingkapkan tentang kebangkrutan kepemilikan pribadi, negara-bangsa maupun demokrasi borjuis yang dipertahankan dengan memerangi kelas pekerja, massa-rakyat dan kaum muda. Kebangkrutannya tidak sekadar berbentuk brutalitas negara dalam mengekang warganya dan kebangsaan-kebangsaan kecil di dalamnya, melainkan pula nampak melalui penurunan standar hidup penduduknya—terutama lapisan terluas kelas pekerjanya dengan menerapkan sistem kontrak, pemotongan tunjangan, pencabutan subsidi, pelarangan mogok, pemberangusan serikat pekerja, kebijakan membasmi pengangguran, pembatalan reforma dan serangan-serangan lainnya. Di tengah situasi krisis yang berlarut-larut dan semakin kompleks inilah kita juga menyaksikan dengan mata telanjang bagaimana berlangsungnya fenomena yang dijelaskan Lenin: imperialisme merupakan zaman ‘kapitalisme monopoli’ yang menundukan perekonomian dunia di bawah kendali ‘bank-bank’ dan ‘modal-keuangan’. Begitulah dari 2008-sekarang Bank Sentral melancarkan dominasinya yang memperdalam krisis kapitalisme: mulai dari menurunkan suku bunga yang mendorong menjulurnya kredit murah untuk rekonsumsi dan tak terbendungnya peredaran uang yang mengarah ke inflasi, hingga menaikkan suku bunga yang melipatgandakan ongkos pembayaran utang luar negeri atas denominasi dolar AS yang meninggi dan menyedot kembali modal-investasi yang telah disalurkan ke pelbagai negeri. Sejak krisis 2008, kebijakan penurunan maupun menaikan suku bunga terbukti tidak dapat menghapus inflasi tetapi meningkatkan keuntungan kaum kapitalis. Setelah upaya pemulihan pertama kali dilakukan dengan menurunkan suku bunga, maka pasar diperluas secara artifisal di luar batas-batas normalnya hingga menambah penderitaan massa-rakyat dan meningkatkan pundi-pundi borjuis: setiap 1 dolar yang dipinjamkan kepada rakyat harus dihitung pengembaliannya sebanyak 1,4 dolar dan 500 perusahaan teratas AS akhirnya meningkatkan pundi-pundi keuntungannya dengan aset tunai minimum 1,4 triliun dolar di bank-bank AS serta perkiraan simpanan di rekening luar negerinya yang mencapai 2 trilun dolar AS.
Sekarang pemulihan lagi-lagi dilakukan tetapi dengan terus-menerus menaikan suku bunga dan semakin menenggelamkan Dunia Ketiga dalam kubangan utang yang begitu rupa. Pada 2020, hutang global mencapai 281 triliun AS atau 356 persen dari total GDP dunia. Terjerat hutang maka negara-negara peminjam dipaksa melakukan seabrek penyesuaian struktural oleh IMF, Bank Dunia dan WTO—terutama untuk melancarkan ekspor kapital ke negeri-negeri miskin kapital tapi kaya sumber daya alam dan tenaga kerja murah. Selama tahun ini Indonesia telah mencatatkan hutangnya lebih dari 400 miliar dolar AS dan dituntut untuk membayarnya dengan memberi pelayanan ekstra terhadap imperialisme. Pertengahan 2019, istana dan parlemen langsung menawarkan beragam peraturan terbaru untuk meningkatkan pelayanannya: Revisi UU KPK, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU Minerba. Sepanjang September akhirnya Gerakan Reformasi Dikorupsi yang melibatkan buruh, petani, perempuan, pelajar, dan kaum miskin pun meledak di banyak kota. Rezim borjuis lantas menghadapinya dengan mengerahkan TNI-Polri gabungan berskala raksasa. Beribu-ribu orang lalu ditangkap, beratusan luka-luka dan 50 di antaranya sampai meninggal dunia. Dalam tragedi kejahatan kemanusiaan inilah aneka RUU bermasalah berhenti dibahas sementara, tapi Revisi UU KPK berhasil dipaksakan-sah untuk memudahkan para birokrat mengkorupsi aneka dana yang dikelolanya. Segera setalah perjuangan massa surut maka Pemerintahan Jokowi kontan menyahkan RUU Minerba menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 guna mengambil-alih kewenangan Pemerintah Daerah berkait pemberian izin penambangan secara cepat dan leluasa. Dalam rangka menyelundupkan RUU lainnya dan pemaksimalan proses perizinan satu pintu demi melayani kepentingan investasi; rezim borjuis juga mengeluarkan aturan sapu jagat yang dibahasnya bersama seabrek asosiasi dagang (Kabin, Hipmi, Apindo, Api, KOGA, dan KOFA): Omnibus Law. Belajar dari perlawanan sebelumnya yang berhasil membangkitkan pembangkangan berskala nasional dan menjadikan kampus sebagai benteng perjuangan massa, maka rezim borjuis pun mengeluarkan dua kebijakan pembungkaman massa: Perpu No. 1 Tahun 2020—berkait pengerahan militer secara masif dan beralasankan pembatasan sosial berskala besar untuk menanggulangi korona—oleh Presiden Jokowi (yang mulai berlaku 1 Mei 2021) dan Wajib Belajar Online (selama Juni 2020-2021) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tetapi sepanjang Oktober Gerakan Mosi Tidak Percaya sempat bangkit menentangnya. Walau menghadapi kekuatan massa yang melemah tapi aparat berskala raksasa tetap dikerahkan dan ribuan orang akhirnya menjadi korban kebrutalan seperti aksi sebelumnya. Mendapati surutnya gelombang perlawanan maka kongsi dagang—Kabin, Apindo, Hipmi, API, KOGA, dan KOFA—cekat mendorong pengesahan aturan yang menggiurkannya. Tepat 2 November 2020 Omnibus Law segera diundangkan menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan: peraturan ini menjadi ‘terobosan dan cara pemerintah menangkap peluang investasi dari luar negeri lewat penyederhanaan izin dan pembangkasan birokrasi. Tanggal 5 Februari 2021, 49 Aturan Turunan Omnibus Law—45 PP dan 4 Perpres—ikut disahkan. Semua peraturan ini dibahas secepat kilat, tanpa memperhatikan penolakan massa, dan dibuat sah secara paksa. Namun berkat perjuangan massa—meski pasang dan surut—selama berbulan-bulan lamanya—itulah 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi secara terpaksa membacakan Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan dilakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja dan apabila selama 2 tahun tidak diperbaiki akan dinyatakan ‘inkonstitusional permanen’. Tetapi akhir November hutang luar negeri Indonesia telah meningkat menjadi 416,17 miliar dolar AS (21,118 miliar dolar berasal dari Cina; sedangkan 395,052 miliar dolar sisanya adalah milik AS, Jepang, Belanda, Singapura, Hongkong, dan lain-lain) dan rezim borjuis semakin didesak merealisasikan kewajibannya kepada investor-investor asing. Tanpa menghiraukan Putusan MK maka investasi pun didorong cekatan. Tanggal 27 Desember, Presiden Jokowi, Menteri Perindustrian Agus Guwimang, dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto meresmikan perusahaan keberadaan pabrik pengolahan dan pemurnian smelter nikel yang dikuasai kapitalis Cina (Jiangsu Delong Nickel Industry Co. Ltd): PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Di sisi lain, Menko Perekonomian membuat Permen No. 7 Tahun 2021 yang akan menggencarkan 208 proyek strategis nasional dan 10 program yang harus dilaksanakan sampai 2024: 57 pembangunan bendungan, 56 jembatan, 19 kawasan perekonomian, puluhan jalan dan berbagai infrastruktur lainnya.
Semua itu diperuntukan demi mendatangkan investor-investor dunia. Puluhan proyek telah diselesaikan dan akhir-akhir ini Jokowi serta pembantunya juga sudah berkeliling ke mana-mana untuk mengesahkannya: Jayapura, Tarakan, Palu, Wakatobi, Labuan Bajo, hingga terbaru dikunjunginya adalah Bima dan Sumbawa. Selanjutnya berpatokan laporan IMF (Oktober 2022) mengenai ‘ledakan resesi global’ dan dorongan-dorongan dari kongsi dagang yang menggelayuti istana dan menyurati Kementerian Ketenagakerjaan untuk segera menjamin ‘fleksibelitas jam kerja usaha padat karya’, maka Pemerintahan Jokowi mengumumkan berita tentang ‘kegentingan memaksa’ sebagai alasan untuk memaksakan keabsahan Omnibus Law dan menyangga kapitalisme-imperialisme. Tanggal 30 Desember 2022, Perpu Ciptaker pun dikeluarkan untuk mempreteli perjuangan massa, menyiasati Putusan MK, dan terutama melayani kepentingan imperialisme. Selama bulan September dan Desember saja, upaya Pemerintahan Jokowi dalam memancing investor membuahkan hasil di Bursa Efek Indonesia (BEI): penanaman modal untuk jual-beli saham (Indeks Harga Saham Gabungan/IHSG) menembus rekor baru—level 6.850,52 dan 7.318,016—dengan volume transaksi harian yang berlimpah (23,9 miliar saham), frekuensi transaksi harian tertinggi se-ASEAN (1,31 juta kali), dan rata-rata nilai transaksi harian para bankir dan konglomerat yang secara fantastis meningkat sebesar 10 persen atas tahun sebelumnya: dari 857,2 miliar dolar AS oleh 7,48 juta investor (Desember 2021) menjadi 940,4 miliar dolar AS (Desember 2022) oleh 10,3 juta investor. Menjelang 2023, sekitar 825 perusahaan nasional dan multinasional sudah mencatatkan namanya dan memperbisniskan saham gabungannya yang bernilai 2,119 miliar dolar AS di BEI. Semua perusahaan ini diundang rezim borjuis bukan untuk menopang perekonomian melalui investasinya pada pengembangan sektor dan tenaga-tenaga produktif, melainkan menghancurkannya dengan timbunan uangnya pada aktivitas-aktivitas non-produktif, spekulasi dan parasitisme di BEI. Pada 2019 saja, ketika penanaman modal asing di BEI sudah melebihi 6,9 miliar dolar AS tetapi sektor-sektor produktif justru terbelenggu stagnasi.
Sebagai contoh ketidakmauan konglomerat dan bankir dalam mengembangkan tenaga produktif sangat kentara: investasi di sektor pertambangan hanya 482 juta dolar AS dibandingkan sektor-sektor jasa (properti, keuangan, telekomunikasi, dan sebagainya) yang menyentuh 1,630 miliar dolar AS. Walau hasil produksi tambang menembus 610 juta ton dengan mempekerjakan 150 ribu buruh—(0,06 persen) dari total 270 juta penduduk—, namun perekonomian cuma tumbuh 5,02 persen (dibanding tahun sebelumnya 5,17 persen) dan menyumbang 0,25 persen PDB (dan PDB terbesar disumbangkan oleh UMKM: 60 persen). Nampaklah perkonomian riil Indonesia tidak didorong oleh pemodal-pemodal besar—yang berjudi di pasar saham dan sebatas memprioritaskan sektor properti dan jasa—melainkan aktivitas produksi dan pertukaran di sektor-sektor informal dan kecil dari borjuis-borjuis kecil atau kelas-kelas menengah (dan semi-proletariat—muntahan industri raksasa). Tahun 2019, Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan kegiatan produksi dan pertukaran mana yang paling banyak menyediakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja di Indonesia: 3 persen ‘tersedikit’ industri-industri besar dan 90 persen ‘terbanyak’ usaha kecil, mikro dan menengah. Sejak 1950-an, kecenderungan untuk menggantikan pengembangan industri produktif ke jasa sebenarnya telah menyelimuti pereknomian negera-negara kapitalis maju seperti Jepang, Inggris dan Amerika. Kaum kapitalis mengurangi penanaman modalnya di bidang yang mengembangkan tenaga produktif dan menggantinya dengan sektor-sektor yang secara keras menguras kemampuan kerja umat manusia. Pada 1980-an, Kepala Sony Corporation—Akio Morita—mengakui gejala ini bukanlah sebagai kemajuan melainkan kemunduran ekonomi kapitalisme. Februari 1998, dia mengingatkan seluruh borjuis global melalui pernyataannya di Director—media konglomerat dan bankir dunia:
“Apa yang ingin saya sampaikan bahwa kecenderungan ini, yang sama sekali bukan kemajuan dari perekonomian yang beranjak dewasa dan bukan merupakan sesuatu yang harus didukung, adalah sesuatu yang destruktif. Karena dalam jangka panjang sebuah perekonomian yang telah kehilangan basis manufakturnya berarti telah kehilangan pusat vitalnya. Sebuah perekonomian yang berbasis jasa tidak memiliki mesin untuk menggerakannya. Maka, pergeseran dari ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa berteknologi tinggi, di mana para pekerja duduk di depan komputer dan saling bertukar informasi sepanjang hari merupakan sebuah kekeliruan…. Ini karena hanyalah manufaktur yang menghasilkan sesuatu yang baru, yang mengambil bahan mentah dan mengubahnya menjadi produk yang memiliki nilai yang lebih tinggi dari bahan mentah darimana produk itu berasal. Sangat jelas bahwa unsur-unsur jasa dari sebuah ekonomi merupakan turunan dan bergantung pada sektor manufaktur.”
Sementara sektor jasa Indonesia terus menjadi prioritas pengembangan borjuis nasional. Maret 2021, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menjelaskan melalui media Kompas kalau aktivitas perdagangan jasa merupakan pilihan penting dalam ‘memulihkan perekonomian nasional’. Maka dalam RPJMN 2020-2024 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dan Kerangka Struktural 2021-2025 pembangunan jasa yang menjadi fokus Pemerintahan Jokowi meliputi: (1) penguatan ketahanan dan daya saing; (2) pengembangan ekosistem jasa keuangan; dan (3) akselarasi transformasi digital. Memacu persaingan dalam sektor keuangan dan digital ini tidak akan pernah meningkatkan tenaga produktif dan kekayaan material masyarakat, tetapi mendorong para konglomerat dan bankir dengan perusahaan-perusahaan monopolinya mengalihkan kapital finansialnya dari aktivitas-aktivitas produksi menuju spekulasi dan kapital-fiktif. September dan Desember 2020, peningkatan transaksi dan pendaftaran saham di BEI telah membuktikan itu semua. Bahwa lewat perubahan struktural itulah kaum kapitalis semakin lancar dalam mengorganisir pencaplokan perusahaan melalui akuisisi, obligasi, kripto serta beragam bentuk pasar derivatif, dan parasitisme lainnya. Pada 1980-an, di Tokyo, London, dan New York, setiap harinya diperdagangkan lebih dari 200 miliar dolar AS; sementara memasuki 2020-an, di Jakarta dan Surabaya saja transaksi hariannya mampu memperbisniskan kurang-lebih 940 miliar dolar AS. Inilah kenyataan yang sesungguhnya dari program-program pembangunan dan investasi dari rezim borjuis: menimbun uang dalam kubangan ekonomi kasino. Sekali lagi, Morita—selaku ahli strategi kapital—memeringati mereka: ‘ini permainan yang memabukkan, penuh dengan kegairahan, tapi kemenangan dan kekalahan di meja poker tidak menutup fakta yang mengerikan bahwa kapal itu sedang tenggelam dan tidak ada seorang pun [di antara mereka] yang menyadarinya’.
Begitulah akhir 2021 dan awal 2022, dunia semakin kusut dengan kontradiksi yang semakin kompleks dan menajam. IMF menerangkan bahwa PDB dunia menurun dari tahun-ke-tahun: 4,1 persen (2021), 3,2 persen (2021), dan diperkirakan menjadi 2,7 persen (2023). AS, Inggris, Cina, Jerman, bersama banyak negara-negara OECD semakin ternggelam dalam lembah inflasi berkepanjangan, resesi yang mengepung, dan kepailitan yang mengancam negeri-negeri Dunia Ketiga. Sementara perang imperialis antara Ukraina/AS-Rusia terus berlanjut dan merusak rantai pasok global. Di sisinya konflik Cina-Taiwan makin menegang di tengah kerusuhan dan pemberontakan massa yang meledak di pelbagai negara borjuis. Bulan Juli, Direktur IMF melalui corong imperialis—Financial Times—melaporkan: ‘kita tengah menghadapi sebuah pergeseran fundamental dalam perekonomian global dari sebuah dunia yang secara relatif bisa dapat diprediksi ke sebuah dunia yang lebih rapuh’. Total hutang global telah melebihi 350 persen GDP dunia. Majalah The Economist pun menerbitkan tulisan yang mewakili kegundahan kaum kapitalis sedunia: ‘kekacauan ekonomi ada di dimensi yang tak pernah terlihat selama satu generasi. Inflasi global mencapai dua digit untuk pertama kalinya dalam 40 tahun. Setelah awalnya lambat dalam merespon, Bank Sentral AS sekarang menaikan suku bunga dengan kecepatan yang tak pernah terlihat sejak 1980-an, sementara nilai dolar mencapai tingkat tertingginya selama 20 tahun terakhir, yang menyebabkan kekacauan di luar Amerika’. Naiknya suku bunga bukan saja menambah menghancurkan investasi tapi juga menambah beban pembayaran hutang Dunia Ketiga. Pemerintah Indonesia lantas tidak sebatas mengencangkan sabuknya, melainkan pula menajamkan pedangnya untuk meningkatkan kestabilan perekonomian di negerinya. Pada titik inilah lembaga-lembaga donor mulai menuntut pelunasan hutang dan semakin menekan Dunia Ketiga. Pengaruh besarnya adalah terpotongnya tingkat keuntungan dan dikuranginya permintaan hingga memicu siklus ke bawah dalam spiral yang begitu rupa: secara dialektik apa yang sebelumnya menjadi akibat kini tampil sebagai sebab bagi bencana-bencana selanjutnya.
Tanggal 6 Desember 2022, rezim borjuis mengesahkan RKUHP dengan sederet pasal reaksionernya: mulai dari pengasosiasian presiden sebagai simbol negara, melindungi birokrat dari kritik dan meringankan sanksi koruptor, mengkriminalisasi pengangguran dan kemelaratan, melanggengkan kapitalisme dan menyerang sosialisme, hingga memenjarakan bahkan menjatuhkan hukuman mati atau seumur hidup kepada setiap massa gerakan yang anti terhadap kapitalisme-imperialisme-kolonialisme-militerisme-rasisme-seksisme. Demi menjaga stabilitas dan memberikan pelayan terbaik kepada konglomerat dan bankir; banyak pemerintahan borjuis yang meningkatkan pengerahan polisi dan tentaranya. Begitulah Indonesia menjadi negeri dengan jumlah aparatus represif terbanyak setelah AS, Cina, India, dan Rusia. Akhir 2021 dan awal 2022, Indonesia memiliki kurang-lebih 579.000 Polri dan 395.500 TNI yang siap digabungkan dalam melumpuhkan gerakan massa. Berjumlah sebesar itulah rasio penduduk dengan aparat per kapita tercatat 296:1 dan selama situasi darurat dapat berubah serupa di tanah Papua yang rasionya 97:1. Sebagai gerombolan badan-badan bersenjata dengan seperangkat hukum, penjara, borgol, dan segala perangkat pemaksa yang selalu menunjang kebrutalannya; orang-orang bersenjata memaksakan kepentingan minoritas borjuis kepada mayoritas massa-rakyat yang tiada menguasai alat produksi. Mereka berasal dari masyarakat berkelas tapi berdiri di atasnya dan membedakan dirinya melalui tindakan tersendiri dan pengakuan akan kekerasan dalam melayani borjuasi. Guna menyangga tatanan kapitalisme setiap tahunnya borjuis nasional menguras APBN secara berlimpah. Diketahui anggaran militer terakhir yang dikeluarkan Pemerintahan Jokowi mencapai 262 triliun rupiah: Polri (Rp 111 triliun) dan TNI (Rp 151 triliun). Modal yang terkuras untuk pembiayaan militer—yang sangat-sangat non-produktif—Inilah yang menjadi ‘bonggol parasit’ di pundak masyarakat kapitalis. Kehadiran mereka dalam setiap pertentangan borjuis versus proletar, kelas penguasa versus massa-rakyat—merupakan perwujudan konkrit dari negara yang—telah lama dijelaskan Engels lewat karyanya “Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara”:
“Negara, dengan demikian, adalah sama sekali bukan kekuatan yang dipaksakan dari luar kepada masyarakat, sebagai suatu sesempit ‘realitas ide moral’, ‘bayangan dan realitas akal’ sebagaimana ditegaskan oleh Hegel. Sebaliknya, negara adalah produk masyarakat dalam tingkat perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini terlibat dalam kontradiksi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia telah terpecah menjadi segi-segi yang berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian itu. Dan supaya segi-segi yang berlawanan ini, kelas-kelas yang kepentingan-kepentingan ekonominya berlawanan tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka dari itu diperlukan kekuatan yang nampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuatan yang seharusnya meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam ‘batas-batas tata-tertib’; dan kekuatan ini yang lahir dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat tersebut, dan yang semakin mengasingkan diri darinya, adalah negara.”
Pengerahan TNI-Polri memiliki peranan besar dalam mengawal jalannya investasi dan proyek-proyek pembangunan. Tugas mereka bukan untuk menegakkan keadilan seperti dongengan banyak peraturan perundang-undangan, tetapi memastikan kekalahan dan kelemahan kaum produsen. Begitulah saat dimulainya pembangunan smelter dan beroperasinya PT GNI, militer turut mengawal dan mengamankan prosesnya namun tidak pernah membela keadilan bagi kelas pekerja. Organisasi masyarakat sipil Trend Asia menjelaskan kalau selama ini kondisi kerja di perusahaan begitu mengerikan dan kerap mengundang kematian. Pada Kamis (22/12/22), dua operator alat berat menjadi korbannya. Keduanya ditemukan tewas terjebak kebakaran yang bersumber dari ledakan tungku Smelter II. Sejak 2019-2022, tercatat 7 pekerja meninggal dunia dengan motif beragam—mulai dari bunuh diri menggunakan kawat slank, terjatuh di samping mesin hidrolik, tertimbun longsor bersama ekskavator maupun terseret longsor saat mengoperasikan buldoser tanpa lampu penerangan di tengah malam, dan yang terbaru adalah ledakan smelter. CNBC Indonesia merilis bahwa perusahaan transnasional ini mempekerjakan 9.300 buruh, termasuk 2.470 pekerjanya di Indonesia yang diupah berkisar antara 3,7-7 juta rupiah. Setelah beberapa bulan beroperasi, PT GNI lalu melaksanakan ekspor perdana hasil olahan nikelnya ke Cina: 13.500 ton feronikel senilai 23 juta dolar AS. Tahun 2021, walau nampak banyak tapi secara umum sektor pertambangan hanyalah menyumbang 4 persen bagi PDB dibandingkan jasa kesehatan dan pelayanan sosial (10,4 persen) maupun transportasi dan pergudangan (15,79 persen). Dan selama 2022, sektor pertambangan cuma mampu menyerap 1,17 persen tenaga kerja dibanding gabungan sektor jasa-jasa yang berlimpah: jasa administrasi pemerintahan (3,42 persen), jasa keuangan (1,11 persen), jasa perusahaan (1,43 persen), jasa pendidikan (4,89 persen), dan jasa kesehatan (1,76 persen), dan sebagainya.
Media-media borjuis nasional dan internasional tak henti-hentinya mendakwahkan pemulihan, namun tingkat spekulasi dan modal fiktif yang disuntikkan ke dalam perekonomian Indonesia justru semakin mempertajam kontradiksi kapitalisme: bukan saja pertumbuhan ekonomi tidak sehat yang berlangsung, melainkan pula meningkatnya eksploitasi dan penindasan borjuasi. Daripada meningkatkan standar hidup dan tenaga produktif; industri-industri pertambangan beserta seluruh sektor aktivitas produksi dan pertukaran dalam masyarakat kapitalis terus-menerus menghancurkan kaum buruh. Sekalipun selama 200 tahun terakhir terjadi kemajuan-kemajuan besar dalam ilmu-pengetahuan dan teknologi, tetapi masyarakat kapitalis menemukan dirinya tidak dapat lagi mengendalikan ‘kekuatan gelap’ yang telah diciptakannya. Irasaionalitas pasar kini berbalik menghimpit kelas borjuis untuk secara sistematis merusak kekayaan material supaya sesuai dengan batas-batas sempit negara-bangsa dan kepemilikan pribadinya. Itulah bukti kalau kapitalisme di zaman imperialisme sudah selesai melaksanakan peran historisnya dan berada di jalan buntu sejarah: ketika perdagangan mengglobal, pembagian kerja mendunia dan kelas pekerja dunia tercipta, tapi dunia tak ada lagi yang bisa dijarah dengan ekspor kapital maka pembagian-ulang dunia dengan perang dan kekerasanlah yang dilakukan. Tetapi jika semuanya tidak menunjukan pemulihan segera pada tingkat keuntungan; cara terakhir yang ditempuh adalah meningkatkan penghisapan nilai-lebih sebagai motor penggerak kapitalisme. Itulah yang mendorong penggunaan mesin-mesin pabrik tanpa henti-hentinya, siang dan malam seolah tiada gangguan, memacu semua pekerja lembur bergilir-gilir, menghapus rehat-ngopi dan minum teh, membatasi pertemuan dan persenggawaan dengan kawan dan pasangan, merusak semua hubungan-hubungan yang paling intim, menumpuk kemuakan dan menggunungkan kestresan, hingga semakin ribut dan mendera kerusakan, dan kemudian diganti secepat kilat dengan mesin-mesin baru untuk melanjutkan pengoperasian, dan dengan intensitas tinggi bekerja di bawah tekanan. Akhirnya: kerja yang merupakan ‘esensi kemanusiaan’ tidaklah menjadi suatu yang menyenangkan dan membebaskan umat manusia untuk menciptakan karya-karya kemanusiaan dan mengelola alamnya untuk peningkatan taraf kehidupan. Norma-norma kepemilikan pribadi dan negara-bangsa membatasi semua perkembangan pikiran, perasaan, dan kehendak dengan cara menghisap dan merampas semua yang terkandung, dikerjakan, dan dihasilkan kaum produsen secara keji dan mengerikan. Inilah yang memicu persoalan keterasingan. Manifesto Komunis (Marx dan Engels) dan Manuskrip Ekonomi dan Filsafat (Marx) pernah menerangkan:
“Karena penggunaan mesin-mesin yang luas dan pembagian kerja, kerja proletariat telah kehilangan seluruh karakter individualitasnya, dan, sebagai akibatnya, kerjanya tidak lagi menarik. Ia menjadi sekadar aksesori mesin, dan hanya melakukan kerja yang paling sederhana, paling monoton, dan paling mudah dipelajari, yang dibutuhkan darinya. Maka itu, biaya untuk menghasilkan seorang pekerja dibatasi, hampir seluruhnya, oleh biaya hidup yang hanya cukup untuk memeliharanya, dan untuk ia berkembang-biak. Tapi harga komoditi dan demikian pula halnya dengan tenaga kerja, adalah sama dengan biaya produksinya. Maka, sebanding dengan semakin menjijikannya pekerjaan itu, semakin turun pula tingkat upah. Terlebih lagi, sebanding dengan meningkatnya penggunaan mesin dan pembagian kerja, meningkat pula beban kerja, baik melalui perpanjangan jam kerja, melalui peningkatan ragam pekerjaan yang dituntut dikerjakan dalam rentang waktu tertentu, atau oleh peningkatan kecepatan kerja mesin, dan lain-lain…. Dengan demikian apa itu keterasingan kaum buruh? Pertama, fakta bahwa kerja itu adalah di luar diri buruh itu, yaitu tidak masuk dalam sifat intrinsiknya; bahwa dalam pekerjaannya, ia tidaklah menegaskan dirinya sendiri melainkan menyangkalnya, tidak merasa puas melainkan merasa tidak bahagia, tidak mengembangkan dengan bebas energi mental dan fisiknya melainkan merusak tubuhnya dan mengganggu otaknya. Si buruh itu, dengan demikian, hanya menjadi dirinya sendiri di luar pekerjaannya, dan di dalam pekerjaannya merasa bahwa ia bukanlah dirinya sendiri. Kerja-eksternal, yakni kerja di mana manusia mengasingkan dirinya sendiri, adalah kerja yang mengorbankan diri, kerja yang menekan hasrat diri. Kerjanya hanyalah cara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di luar kerja itu. Karakternya yang asing itu muncul jelas dalam fakta bahwa segera setelah tidak ada lagi pemaksaan fisik atau lainnya, buruh menghindari kerja seperti halnya dia menghindari wabah penyakit. Karakter eksternal dari kerja muncul dalam fakta bahwa kerja itu bukanlah miliknya sendiri, tapi milik orang lain, bahwa kerja itu bukan miliknya, bahwa di dalam kerja dia bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi menjadi milik orang lain.”
Inilah kerja yang mendominasi masyarakat sekarang. Kerja-upahan yang dipaksakan dan berada di bawah tekanan memupuk laba kapitalis telah memerosotkan segala sektor pekerjaan. Pada 2022, Kementerian ESDM memberitahukan masih sedikit kemajuan hasil produksi pertambangan—semisalnya batu-bara: dari target produksi 663 juta ton hanya tercapai 292,77 juta ton. Tetapi pendapatan pemerintah atas produksi dan pertukaran komoditas itu mengalami peningkatan 106,35 persen: dari Rp 75,48 triliun (2021) menjadi Rp 155,75 triliun (2022). Dengan dorongan luar biasa untuk melimpahkan hasil produksi maka sesungguhnya berlangsung penghancuran yang sistematis terhadap tenaga-tenaga produktif. Kita jadinya bekerja di bawah paksaan yang tak terperikan, sebatas untuk pemenuhan kebutuhan dasar sekaligus melayani irasionalitas borjuis, dan tidak pernah diberi kesempatan memajukan kebudayaan. Pikiran, perasaan, dan kehendak umat manusia terbelenggu di tengah fisik yang terus-menerus dihancurkan dan dikepung kematian. Selama 4 tahun saja, BPJS Ketenagakerjaan menemukan peningkatan signifikan mengenai kasus kecelakaan kerja: 114.000 kasus (2019), 177.000 kasus (2020), 221.740 kasus (2021), dan 234.270 kasus (2022). Awal 2023, kecelakaan ini kembali terjadi di PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Tanggal 6 Januari, pipa big house Smelter L meledak dan memakan korban 9 pekerja. Dalam rilis FBTPI Maluku Utara dijelaskan bahwa sepanjang 2018-2021 telah ditemukan 10 kasus kecelakaan kerja di PT IWIP, menewaskan banyak buruh, dan selalu berhubungan dengan pengabaian penerapan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) oleh perusahaan. Demi menumpuk nilai-lebih yang hanya bisa diperoleh dari penghisapan kemampuan kerja buruh maka tidaklah pernah kelas borjuis secara konsisten menerapkan K3. Begitulah di PT IWIP, PT GNI, dan perusahaan-perusahaan kapitalis lainnya bukan saja kondisi kerja yang tak dijamin keamanannya, tapi terutama waktu kerja diperpanjang melebihi delapan jam, mewajibkan kerja-lembur, membatasi hari libur dan cuti haid, menolak pemberian pesangon dan penggantian hak. Upah dari bos perusahaan tak pernah menghapuskan penderitaan proletariat. Upah sekadar menjadi selisih dari nilai-lebih yang dihasilkan buruh sewaktu bekerja dengan kebutuhan riil yang diperlukan mereproduksi tenaga kerjanya untuk kembali bekerja.
Contoh tipikalnya dipertontonkan PT Panarub Industry (PI) yang tampil sebagai sub-kontraktor dari Adidas-Salomon AG (Imperialis Jerman) dalam membuat sepatu di Indonesia. Saat pertama kali beroperasinya perusahaan mengikuti UMK Tangerang untuk menggaji buruhnya. Dalam sebulan pekerja-pekerjanya dituntut bekerja 26 hari (karena dikurangi 4 hari libur setiap hari Minggu) yang sehari berlaku 8 jam kerja. Setiap harinya buruh (anggaplah) rata-rata memproduksi sampai 4 pasang sepatu yang harga per pasangnya bervariasi: Adidas Copa Sense (Rp 550.000 per pasang), Adidas Orketro Shoes (Rp 2.600.000 per pasang), Adidas Ultraboost (Rp 3.300.000 per pasang), dan sebagainya. Sedangkan dalam sebulan buruh telah menempuh 208 jam kerja dan menghasilkan 104 pasang sepatu. Jika sepatu yang dihasilkannya adalah Adidas Copa Sense maka berapa nilai yang telah dihasilkan buruh(?): 208 jam kerja = 104 pasang sepatu Copa Sense = Rp 57.200.000. Tetapi dengan perhitungan kerja-upahan maka Panurab Industry hanyalah menggaji buruhnya seturut UMK Tangerang (2022/2023)—yang dihitung setiap satu jamnya Rp 21.154, satu harinya Rp 169.230, dan sebulannya Rp 4.400.000. Kaum kapitalis menganggap kerja-upahan dengan upah sebesar itu sebagai kewajaran. Ini berdasarkan klaim kepemilikannya terhadap sarana dan prasarana produksi, mesin dan teknologi, bahan-bahan, hingga buruh-buruh yang dipekerjakan. Padahal nilai-lebih sebagai motor penggerak perekonomian kapitalisme dan sumber keuntungan kapitalis tidak dihasilkan dengan klaim sepihaknya, tetapi diekspropriasi dari kerja-lebih yang tak dibayarkan selama berjam-jam. Jika sebulan terdapat 208 jam kerja dan buruh memproduksi 104 pasang sepatu yang nominalnya Rp 57.200.000 maka berapakah nilai-lebih yang dihisap kapitalis jika upah yang dibayarkannya hanyalah Rp 4.400.000? UMK Tangerang setara nilainya dengan 8 pasang sepatu Adidas Copa Sense yang diproduksi dalam 2 hari kerja atau 16 jam kerja. Maka selama sebulan buruh melangsungkan 24 hari atau 192 jam dan menghasilkan sebesar Rp 52.800.000 sebagai nilai-lebih yang menjadi keuntungan kotor kapitalis. Dan laba bersihnya adalah ketika untung kotor sudah digunakan ‘(misalnya) 30 persen’ untuk pembiayaan kapital konstan: perawatan atau pembaharuan mesin, penyediaan bahan, dan sebagainya—jadi hasilnya Rp 15.840.000. Begitulah nilai-lebih tidak ditentukan pasar dengan arus jual-beli atau permintaan dan penawarannya, tapi kemampuan kerja yang dihisap kapitalis atau kerja-lebih buruh di ranah produksi. Sebab uang hanyalah penyetara nilai untuk semua komoditas dan tidak akan pernah bernilai tanpa adanya ekspropriasi nilai-lebih dari kerja-lebih yang menciptakan komoditas.
Seperti komoditas sepatu itulah sumber nilai uang dan kekayaan kapitalis lain-lainnya didapatkan pula dari penghisapan terhadap kelas proletar. Sejak Akhir 2020-November 2022, sekitar 8.600 buruh dipekerjakan Panurab dan berapa nilai-lebih yang dihisapnya? Bila disetarakan dengan nilai-tukar dari yang dihasilkan selama sebulan melalui ‘8 jam kerja per hari’, maka kapitalis memperoleh laba bersihnya sebesar 136,2 triliun rupiah. Profit tersebut barulah berdasarkan penghitungan atas realisasi pertukaran 894.400 pasang sepatu Adidas Copa Sense, belum lagi diakumulasikan bersama sepatu-sepatu jenis lainnya yang juga ikut merealisasikan nilai-lebih dari aktivitas produksi PT PI. Bekerja di tengah produksi dan pertukaran yang membengkakan nilai-lebih beratus-ratus triliunan itulah eksploitasi mengalami peningkatan. Selama Juni-Agustus 2020 dan seterusnya, Panurab Industry menggencarkan pembahasan dan pemberlakuan “No Work No Pay” untuk memotong gaji hingga mem-PHK massal kaum produsen. Tanggal 29-30 Juni, 1-3 Juli, 29-30 Juli, dan 1-7 Agustus—dua kebijakan lancung diterapkan perusahaan: (1) buruh diliburkan tapi dipotong hari cuti dan (2) buruh diliburkan tapi dipotong upahnya 50 persen. Sepanjang Juni-Agustus pun mayoritas buruh PT PI dipotong gajinya sebesar 800-1,3 juta rupiah dan sebagian kecilnya menerima 629 ribu rupiah per bulannya. Berlanjut sampai 2022/2023, kerja yang dahulunya 8 jam ditingkatkan menjadi 12 jam kerja per hari: dari pukul 6 pagi-6 sore. Atas pemotongan gaji dan peningkatan hari kerja maka perusahaan beroleh peningkatan nilai-lebih sebesar 6 miliar rupiah. Oktober-Desember 2022, dunia dihantui resesi dengan gelombang PHK yang menyambar secepat kilat dan menyebar luas melampaui ancaman korona. Per November saja, ILO mencatat 153.937 perkerja global diberhentikerjakan. Di seluruh dunia, sektor-sektor jasa properti, perkantoran dan telekomunikasi adalah yang terbanyak melakukan pemecatan karyawan. Semakin mendalamnya krisis kapitalisme pun mengharuskan Panarub memperluas kebijakan PHK-nya dengan bantuan kongsi dagang di sekeliling istana dan diikuti perusahaan-perusahaan kapitalis lainnya: PT Multi Kereasi Mandiri (Tangerang), PT Kahatex (Sumedang), PT Parkland (Rembang), dan PT Tah Sung Hu (Brebes). Dipimpin oleh Apindo, mereka mendesak Kementerian Ketenagakerjaan untuk mengeluarkan Permen “No Work No Pay”. Tujuannya sederhana: supaya pendepakan buruh menjadi mudah dan mendapat perilindungan terang-terangan dari negara. Sejak 2020, dorongan-dorongan PHK mencapai rekor tertingginya. Kemenaker mencatat kalau angka potensi PHK sudah mencapai 383.877. Per September 2022, 87 perusahaan mem-PHK 43.576. Per November, 111 perusahaan lagi-lagi melakukan PHK serentak 79.316 buruhnya dan 16 perusahaan langsung menutup produksinya. Tepat 18 November, PT PI menjadi salah satu perusahaan yang mengusir ribuan buruhnya. Sampailah akhir Desember, jumlah buruh Indonesia yang di-PHK pun diperkiran melebihi 100.000.
Antara 2019 dan 2020, total pengangguran global pun meningkat dari 185,95 juta menjadi 223,67 juta jiwa. Sampai 2021, nampak 81-90 juta orang bukan sekadar kehilangan pekerjaannya tapi lebih-lebih putus asa mencari kerja. Di Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, Karibia dan Afrika mengalami kenaikan tingkat pengangguran yang serius. Akhir 2022 dan awal 2023, epidemi pengangguran pun meledak sebagai patogen yang merongrong masyarakat kapitalis. Karakternya organik, kemunculannya liar, dan jumlahnya semakin ganas menunjukkan kotradiksi kepemilikan pribadi dan kebangkrutan negara-negara borjuis. Karena spekulasi dan parasitisme merajalela maka pengangguran hadir sebagai kanker yang menggrogoti perekonomian kapitalis. Selang-selang bisnis, operasi-operasi pasar, lembaga-lembaga donor, dan investor-investor spesialis sama sekali tak mengobatinya dan justru membiarkannya sekarat. Sudah sedikit darah yang dipompa industri-industri produktif dan terlalu banyak organ-organ yang rusak akibat jasa-jasa pemecah pembuluh darah. Tidak ada satupun program Negara Kesejahteraan yang sanggup mengendalikan pertumbuhan pengangguran itu. Semua pemerintah—OECD, BRICS, UE, UK, G-20/G-8/G-7 plus Australia, terkhusus AS, Cina, Jepang, Inggris dan Jerman, apalagi Dunia Ketiga—tak mempunyai resep ampuh untuk mengobati krisis kapitalisme; kecuali membacakan mantra-mantranya sihir di pasar saham, menambah hutang, meningkatkan eksploitasi dengan beragam proyek pemulihan, pembangunan dan investasi, yang akhirnya semakin memperdalam krisis, meluaskan spiral-angkara, menghancurkan perahu penghidupan, dan menenggelamkan massa-rakyat di lautan pengangguran. Dalam Februari-Agustus 2022 saja, laju pengangguran memang mengalami peningkatan—menurut tinjauan data-moderat BPS: dari 8,40 juta menjadi 8,42 juta jiwa. Tetapi sesungguhnya jumlah pengangguran Indonesia jauh berlimbah. Apa yang diidentifikasi rezim borjuis sebagai pengangguran barulah sedikit di antaranya. Di sisinya terdapat pula pengangguran lainnya: mereka yang diasosiasikan secara licin oleh pemerintah sebagai ‘angkatan kerja penuh’, ‘angkatan kerja pengangguran’ dan ‘angkatan kerja setengah menganggur (kentara dan tidak-kentara)’ di tengah 143,72 juta partisipasi angkatan kerja. Disatukan bersama hasil kalkulasi BPS maka jumlah keseluruhan pengangguran indonesia mencapai 53,5 juta, yang 30,4 jutanya merupakan kaum muda (15-29 tahun). Seturut catatan ILO (2022): 73 juta angkatan muda berusia 15-24 tahun menganggur di seluruh dunia. Namun perkiraan kami lebih banyak lagi: pengangguran global sekitar 1.000 juta dengan 700 juta di antaranya adalah kaum muda.
Memasuki 2023, Bank Dunia mencatat kalau jumlah lulusan perguruan tinggi global menembus 250 juta. OECD pun memberikan prediksinya bahwa memasuki 2030 jumlahnya akan meningkat menjadi 300 juta. Di Indonesia saja, Kemendikbudristek menerangkan bahwa 1,5 juta orang lulus sebagai sarjana atau diploma setiap tahunnya. Di sisi mereka terdapat pula 1,5 juta lulusan SMK dan 2 juta lebih lulusan SMA. Sementara lapangan pekerjaan yang tersedia tidak lebih dari 300 ribu per tahun dan kurang-lebih 1,8 juta selama periode 2016-2022. Data BPS bahkan mencatat telah terjadi penurunan tenaga kerja berlatang belakang universitas: dari 10,18 persen (Februari 2021) menjadi 9,92 persen (Februari 2022). Di Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Pasuruan, Tuban, dan Gresik; kami pun menyaksikan dengan mata telanjang bagaimana standar hidup kelas proletar dan kaum muda meluncur-jatuh. Loker-loker online bersimbah-ruah tapi kawasan-kawasan industri melayu. Puluhan ribu buruh berpulang ke rumah, pergudangan seiras rumah hantu, mesin-mesin terakhir beroperasi semakin keras menyiksa pekerjanya, dan kawasan industri yang masih terbuka menjelma bak neraka. Jalanan semakin bising dan ramai, bukan lagi oleh kendaraan namun kerumunan muntahan industri. Tanpa pekerjaan tidak mungkin ada keselamatan dari ancaman kematian yang menyeringai. Akhir 2022-awal 2023, UMP Jatim dan UMK di kota-kota maupun kabupaten-kabupatennya menanjak namun reforma-reforma macam ini tiada mampu lagi menjadi obat. Derita sudah naik seleher. Tidak ada lagi penawar. Semua harga meroket. Bukan saja tarif BBM dan listrik, tapi terutama kebutuhan yang lebih mendasar. Mie rebus atau nasi bungkus dengan telur yang terbanyak ditemui berharga 10-15 ribu per bungkus, gorengan 3-5 ribu per buah. es teh 5-8 ribu per gelas, kopi hitam 9-15 ribu per cangkir, bahkan air putih dan buang hajat saja tidak gratis. Setiap harinya derita menjalar dan mencekik-cekik. Kantong berbulan-bulan kering dan sandal makin tipis. Sementara di bursa-bursa saham tiap detiknya miliaran dolar berayun bebas, meloncat dari satu meja ke meja lainnya, dan menggandakan dirinya berlipat-lipat. Konglomerat dan bankir tertawa terbahak-bahak sambil mengklik tombol di atas dipan-dipan emas, di dalam vila-vila dan rumah-rumah mewahnya. Sedangkan di pemukiman-pemukiman buruh dan kaum miskin kota, ratusan keluarga melarat dengan persoalan sanitasi mengancam, bau bacin dan lalat menerkam, perut keroncongan, gizi buruk, diare dan beragam bala.
Ada-ada saja memang setumpuk lembaga penyalur tenaga kerja tapi berbayar dan lebih sering menipu. Sebagai syarat memperoleh pekerjaan dipatokan harga mulai dari 500 ribu-7 juta rupiah dan beralasankan pelatihan segala. Ini belum tentu langsung bekerja, dan jikapun memasuki pabrik—itu paling lama 2-3 bulan saja. Sepanjang 2020-2022, rata-rata perusahaan memberlakukan kerja kontrak selama 3 bulan dan digaji di bawah upah minimum. Perusahaan kayu Artha King Indonesia (AKI) misalnya, ratusan buruh dikontrak dengan gaji tidak sesuai UMK Sidoarjo: upah yang seharus 4,5 Juta rupiah dipotong jadi 2,2 juta rupiah. Sepanjang September 2022, PT AKI bahkan membuka lowongan kerja online dan offline yang pekerjaanya bertambah parah: masa training tak dipastikan tapi yang pasti pekerjaan adalah kontrak dengan 12 jam kerja (6 pagi-6 sore), wajib lembur (per jam 10-20 ribu rupiah), dan upah di bulan-bulan pertama sebesar 1,2 juta rupiah. Dari ribuan pendaftarnya AKI pun cuma menyerap di bawah 10 orang pekerja muda (berusia 22-28 tahun).
Selengkapnya: https://percikkanapi.data.blog/2023/01/10/kaum-buruh-dan-muda-derita-kita-sudah-seleher/
Bangun Kepemimpinan Revolusioner sekarang juga: https://revolusioner.org/bergabung-dengan-kami/
Komentar
Posting Komentar