Lestari Budaya Bakar Batu (BARAPEN) Suku Di Papua Pegunungan
OLEH: MIDILES
KOGOYA
Bakar Batu adalah salah satu tradisi budaya
vital yang dimiliki oleh orang suku Papua yang mendiami di
provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah, Tradisi ini Melibatkan pembakaran
batu yang kemudian digunakan untuk
memasak makanan seperti daging babi, ubi, sayur-sayuran.
Bakar
batu sering kali dilakukan dalam acara-acara khusus dan umum seperti
perayaan adat, pernikahan, atau pertemuan masyarakat, selain itu bakar batu
memiliki Nilai filosofis yaitu simbol persatuan, dan kebersamaan.
Tradisi Bakar Batu Juga dikenal
dengan aroma dan rasa makanan yang khas, serta menjadi daya tarik bagi
wisatawan yang ingin mencoba pengalaman kuliner di Papua yang Unik.
Bakar batu pertama kali sudah di
praktikan oleh nenek moyang suku yang
berada di Papua Pegunungan dan Papua Tengah kala itu, Implementasi acara masak
bakar batu ini adalah wujud semangat persatuan dan kebersamaan suku- suku yang
ada di Papua pegunungan seperti Suku Lani, Walak, Hubula, Yali, dan Papua
Tengah seperti Suku Moni, lani, Damal,
Mee , Amume, Kamoro dan beberapa suku yang belum di uraikan di sini.
Suku-suku berada dalam sistem administrasi
pemerintah Indonesia Suku Lani terdiri dari kabupaten Tolikara, Lannya Jaya, Mamberamo
Tengah, Puncak Jaya, dan puncak Papua, Suku Walak Mamberamo Tengah, Suku Yali
Yahukimo dan Yalimo, Suku Hubula Jayawijaya, Suku moni Intan Jaya, suku Damal
Puncak Papua, Suku Amume dan Kamoro Timika, suku Mee Paniai, Dogiyai, Deiyai
dan Nabire.
Bentuk acara bakar batu seperti
dijelaskan pada paragraf kedua bahwa acara bakar batu biasanya dilakukan pada
acara atau kegiatan seperti Kampanye Politik bupati, DRPD, Gubernur dan Presiden, Acara
Syukuran atas pelantikan, atas suatu kemenangan atau mendapatkan jabatan Pemerintahan
Fungsional dan acara bakar batu Keagamaan,
seperti pesta peresmian Gereja, acara konferensi rapat badan pengurus gereja,
dan acara peresmian kantor klasis, wilayah dan pusat, Acara Bakar batu
dilakukan juga saat pernikahan, ulan tahun organisasi, orang dan HUT apa saja,
selain itu acara bakar batu juga di lakukan pada saat makan sumbang atau saat
meminta donasi untuk beban kegiatan
tertentu terutama untuk kegiatan pembangunan gereja.
Sebelum masak bakar batu harus
bicarakan terlebih dahulu seperti buat konsep misalnya Acara bakar batu besar
harus buat Panitia Bakar batu yang memungkinkan tingkat koordinasi yang lebih efektif dan bisa
terlaksanakan baik, karena dalam acara bakar batu tidak bisa menentukan jumlah
orang yang ikut acara tersebut apalagi acara besar seperti peresmian gereja,
atau acara pemerintah dengan jumlah orang yang bisa mencapai Ribuan orang.
Sedangkan cara bakar batu kecil
seperti Ulang Tahun Anak, Acara Bakar batu keluarga, dan acara bakar batu
Kelompok lingkungan sosial mungkin tidak perlu buat panitia secara terstruktur
sebab mereka hanya menentukan acara bakar batunya apakah masak B2 atau Daging
babi (wam), atau keladi, Jagung, Ayam potong, secara otomatis semua orang yang
terlipat dalam acara tersebut akan kerja secara Gotong Royong kolektif seperti
siapkan bahan- bahan masak, untuk laki-laki akan siapkan kayu bakar, Batu, dan
Jepit kayu (Pando), Gali Kolam masak berbentuk kerucut atau segitiga bulat
dalam tanah dan siapkan Daun atau alang-alang untuk alas dan tutup pada saat
masak di kolam nanti. Selain itu bagi perempuan tugasnya adalah harus siapkan
Ubi, singkong, labu, daun sayur-sayuran seperti daun labu, daun ubi, kol, daun
Singkong pakis dan berbagai jenis makanan lain untuk di masak nanti.
Untuk Prosesi masak terlebih dahulu
susun kayu secara terstruktur dan
letakan batu yang sudah diseleksi sebelumnya akan susun di atas kayu bakar yang sudah susun
tadi. batu Pada umumnya pakai batu hitam
(Obsidian), batu-batu harus di bakar benar-benar panas untuk di masak di
Kolam, Bagi Laki-laki harus ambil batu panas pakai Jepit kayu (Pando) lalu susun batu panas di
kolam masak yang sudah di alas sebelumnya pakai daun atau alang-alang,
setelahnya pertama yang harus masak adalah Singkong atau Ubi lalu memberi batas dengan sedikit memberikan
daun pisang di tengah, dan kedua masak atau masukan sayur seperti daun ubi,
Daun Labu yang sudah sediakan sebelumnya, yang ketiga masak wam, atau ayam
potong dan bisa ditambahkan bumbu bila
memungkinkan. Yang terakhir tutup hasil masak pakai daun secara rapi.
Untuk Menunggu masak di kolam 45
menit sampai 1 jam tergantung kondisi batu panasnya di masak, setelah itu yang masak tadi akan buka, dan mengarahkan
konsumsi atau masyarakat yang makan bersama itu duduk secara berkelompok dan
acak terdiri dari laki-laki, perempuan, ibu, anak-anak antara 4-sampai 7 orang untuk makan bersama, laki-laki akan bagi
Sayur yang sudah masak tadi ke kelompok-kelompok (Kunu) yang sudah di bentuk tadi, setelahnya bila
masakan tersebut wam akan akan potong oleh beberapa orang dan akan bagikan
hasil potongan wam tersebut ke kelompok-kelompok (kunu) yang sudah dibentuk tadi, setelah makan
terakhir akan bagikan Ubi atau singkong, atau mungkin keladi, Jagung.
Tradisi pembagian harus pertama-tama kasih kepada
Hamba Tuhan Atau Pelayan Gereja sebagai hormat dan keagungan mereka, dan kedua
kasih kepada Tua-Tua adat menghormati Alam leluhur yang ada, setelahnya bagi
kepada semua orang.
Nilai Filosofi
apa yang Kita Per oleh Dari Tradisi Bakar Batu ini, Filosofi bukan hanya
bicara pada aspek kebersamaan dan persatuan, akan tetapi lebih dari itu bahwa
Ikatan tradisi yang sungguh luar biasa, di antaranya kita belajar tentang kerja
sama, komunikasi, duduk sama rata, berdiri sama rata, dan makan sama rata,
menumbuhkan dan memperkuat tali persaudaraan, sebagai sesama suku, daerah dan
kelompok. Filosofis budaya berangkat dari budaya tradisi membangun Rumah adat
Honai, Tempat tinggal mereka, rumah ini
memiliki filosofis yang sangat sinkronisasi bakar batu, sebab di dalam honai
tidak ada pembagian kamar, semua orang berada dalam honai dengan jumlah belasan
sampai puluhan orang, dan setiap makanan atau minuman yang ada dalam honai
pasti akan di bagikan secara rata, dan harus bisa mendapatkannya.
Komentar
Posting Komentar