HEGEMONI PARTAI POLITIK DAN CALON DPRD, DPRP, DPR-RI
TERHADAP RAKYAT TOLIKARA
Oleh: Midiles Kogoya
“Peraturan UU Tentang pemilu sebagai
sampul ilusi dengan isi praktiknya”
Sebelum kita membaca soal pesta demokrasi politik lingkup Tolikara Papua
Pegunungan, kita memulai dengan bagaimana pertama sekali bangsa Papua mengenal
sistem pesta demokrasi, dalam praktik atau kebudayaan orang Papua selalu pakai dengan
hidup dalam kebudayaan nilai-nilai demokratis dan keadilan, contoh nyata
filosofi bakar batu, potong babi, dan rumah Honai adat, nilai-nilai kebudayaan
ini dalam implementasi dari nilai demokratis yang telah lama melekat pada
kebudayaan bangsa Papua, yang perlu dilestarikan dan di pertahankan terhadap
hegemoni kehidupan kapitalisasi dan kolonial -isasi barat.
Pada tahun 1969 tepatnya antara bulan Juni sampai Agustus pemerintah
Indonesia setelah negosiasi ilegal antara pemerintah kolonial belanda, kolonial
Amerika dengan sekutunya untuk mencaplokkan Papua ke tangan Indonesia ketika mau menduduki tanah Papua barat
kala itu, Pertama sekali pemerintah Indonesia melakukan pesta demokrasi untuk
melakukan referendum dari populasi penduduk 80.000,00 orang Papua, hanya 168
orang yang dipilih oleh tentara Indonesia untuk peserta pemilihan.
Anda membayankan bagaimana kondisi saat itu karena berbatasan akses media informasi, dan tidak ada organisasi
HAM, untuk mengadvokasi situasi referendum Papua yang sedang berlangsung, jadi
Indonesia mengambil alih Papua barat dengan kekuatan militeristis dan
penuh dengan kekerasan, intimidasi terhadap anggota peserta pemilihan, jadi referendum pemilihan
ini diadakan secara tidak demokratis dan adil.
Setelah Papua berhasil aneksasikan ke Indonesia, Pemerintah Indonesia
pertama sekali melakukan pemilihan atau pesta demokrasi dijalankan pada tahun 1970-an itu pun diakan hanya beberapa tempat seperti di Manokwari,
Jayapura, dan Merauke,
Setelah Suharto menjabat 30 Tahun lebih secara otoriter dan militeristis,
pada tahun 1998-1999 Jusuf Habibie lanjutkan presiden
sampai perubahan secara aturan hukum demokrasi ke reformasi yang lebih baik.
Sayangnya Indonesia menyelenggarakan UU Otonomi khusus pada tahun 2002 bagi
tanah Papua ada perubahan sistem
pemerintahan dan sistem pemilu yaitu sistem Noken jadi sistem noken diakan
secara aklamasi atau para peserta pemilu memilih calon Anggota legislatif, dengan tata baris di depan artinya pemilihan
pesta demokrasi cukup melecehkan dan terjadinya kesekkan masalah di tingkat
desa, distrik atau masalah antar keluarga, gereja bahkan juga mengucurkan budaya relasi
sosial masyarakat.
Sistem ini perlu buat perubahan atau kebijakan dari kepala pemerintah dalam
hal ini bupati, gubernur dan semua stakeholder kerja pemerintah di masing-masing daerah
kab/kota tanah Papua untuk dapat mengujudkan
dan menegahkan UU KPU yang berlaku di Indonesia.
Melihat situasi Tolikara setiap pesta demokrasi, masyarakat pada umumnya
melihat dan menganalisis siapa ketua (Komisi pemilihan Umum Daerah) KPUD, Anggota KPUD dan siapa Bawaslu
kabupaten, Sehingga untuk merebut semua kekuasaan KPUD Dan Bawaslu menjadikan
tolak ukur dalam mengikuti perkembangan politik partai.
Untuk Tahun pemilihan 2024 di atur dalam UU
No. 7 Tahun 2017 dan yang kedua
UU No. 10 Tahun 2016 tentang pemilu kada yang menjadi dasar hukum bagi KPU
dalam melaksanakan dan menyukseskan, Politik Praktis ini kita melihat sebagai
bagian dari pesta demokrasi, yang memberikan kesempatan setiap warga negara
Indonesia dapat memilih sesuai hati nurani
Bila kita melihat fungsi dan tujuan kerja KPUD, badan pengawasan pemilihan
(Bawaslu), Panitia Pemilihan distrik/ kecamatan (PPD), Panitia pengawasan pemilihan
umum (PANWAS), Panitia pemungutan suara (PPS), kelompok penyelenggara
pemungutan suara (KPPS) adalah
melaksanakan tugas pengumputan suara guna untuk mengawasi, mengontrol,
meninjau, dan melindungi agar proses pemilu dapat wujudkan Nilai demokrasi,
adil, jujur.
Artinya KPU dan Bawaslu kerja dengan
jujur, maka bisa membawah perubahan di kabupaten Tolikara pada umumnya di Papua
karena KPU dan Bawaslu penentu pemimpin terbaik, sesuai dengan kemampuan,
keahlian, secara kualitas dan kuantitas, sehingga selama kepemimpinannya bisa
membuat reformasi perubahan pembangunan daerah seacara signifikasikan.
KPU dan Bawaslu kabupaten juga jangan berafiliasi dengan kelompok
kepentingan yang melakukan suap atau praktik menerima Gratifikasi oleh Elit ini
masalah yang krusial, praktik kebodohan maka, untuk jadi Bawaslu dan KPUD harus
punya iman, integritas, dan penuh percaya diri serta berpedoman pada UU.
Artinya Rakyat Papua sampai hari ini sudah dewasa dalam berpolitik dan tata
cara pemilihan secara aturan nasional, jadi
tidak perlu pakai sistem noken, sistem zaman batu dan merusak tatanan
kehidupan budaya, sosial agama.
Komentar
Posting Komentar