![]() |
Doc famplet Sumber: Facebook |
[UNDANGAN DISKUSI] Bandung dan Sekitarnya.
Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!
PEPERA 1969 ilegal dan tidak Demokratis, Otsus bukan solusi untuk menyelesaikan persoalan Papua.
West Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 01 Desember 1961, tetapi kemerdekaan Rakyat West Papua tidak bertahan lama. Kabar kemerdekaan itu membuat geram pemerintah Indonesia yang pada saat itu sedang berkonfrontasi dengan Belanda dan berupaya merebut wilayah West Papua. Pada bulan yang sama, delapan belas hari kemudian di alun-alun utara kota Yogyakarta, Presiden Sukarno dalam pidatonya mengumandankan Tiga Komando Rakyat "TRIKORA" untuk merebut wilayah West Papua, lalu membentuk komando Mandala dan menunjuk Mayor Jenderal Suharto sebagai Panglima untuk mempersiapkan dan melaksanakan operasi militer ke West Papua. Realisasi dari isi Trikora, berbagai gelombang operasi militer dilakukan ke Papua.
Pasca Trikora, Belanda yang semestinya bertanggung jawab untuk melakukan dekolonisasi sebagaimana janji sebelumnya, justru menandatangani Perjanjian New York (New York Agreement) terkait sengketa wilayah West Papua pada tanggal 15 Agustus 1961 dan disusul dengan Perjanjian Roma (Roma Agreement) pada 30 September 1962. Perjanjian roma memberikan legitimasi bagi pemerintah Indonesia untuk mengkoloni West Papua. Sehingga berdasarkan perjanjian tersebut, klaim Indonesia atas tanah Papua sudah dilakukan pasca penyerahan kekuasan Wilayah Papua Barat dari tangan Belanda kepada Indonesia melalui Badan Pemerintahan Sementara PBB, United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Mei 1963.
Perjanjian-perjanjian tersebut hanya melibatkan tiga pihak: Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat sebagai penengah. Meski terang bahwa perjanjian-perjanjian terebut berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat West Papua, tetapi tidak satupun rakyat West Papua dilibatkan.
Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia memobilisasi militer dalam jumlah banyak ke wilayah West Papua, tujuannya untuk mendukung propaganda Indonesia dipanggung Internasional, pengkondisian wilayah dengan serangkain operasi militer untuk penumpasan gerakan pro-kemerdekaan rakyat West Papua, dan untuk memenangkan Pepera.
Ironisnya, dua tahun sebelum Pepera dilakukan, pemerintah Indonesia melakukan kontrak karya pertama pada, 07 April 1967 dengan perusahaan pertambangan milik Imperialis Amerika Serikat (PT Freeport). Sehingga sudah dapat dipastikan bagaimana pun caranya dan apa pun alasannya, West Papua harus tunduk pada kehendak Indonesia.
Tepat 14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilakukan secara "Musyawarah" dengan cara Indonesia sendiri. Dari total 809.337 orang Papua Barat yang memiliki hak suara, hanya diwakili 1.025 orang yang sebelumnya telah dikarantina, diancam, dan didoktrin oleh milter untuk pro-Indonesia. Hanya 175 orang saja yang menyampaikan hak pilihnya dan membaca teks yang telah dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia. Musyawarah untuk mufakat melegitimasi Indonesia untuk memenangkan Pepera secara tidak demokratis dan manipulatif.
Alasan penolakan Rakyat West Papua terhadap hasil Pepera sangat jelas, yaitu, ketidak-demokratisan dalam penyelenggaraannya dan sangat bertentangan dengan hukum internasional, tidak sesuai isi perjanjian New York. Pepera dilakukan dengan penuh pemaksaan, teror, dibawah tekanan moncong senjata militer Indonesia terhadap rakyat West Papua.
Keadaan yang demikian; teror, intimidasi, penahanan, penembakan bahkan pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi hingga dewasa ini diera reformasi saat ini. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia. Sebelum dan sesudah Pepera dilakukanpun, DOM (Daerah Operasi Militer) dilakukan di seluruh tanah Papua, dari tujuannya Indonesia mengkoloni Papua Barat sebagai daerah jajahan sampai saat ini dengan kekuatan militernya.
Gelombang protes dan penolakan atas hasil Pepera terus terjadi di seluruh wilayah West Papua, namun pemerintah Indonesia lewat militer yang telah dikirim ke wilayah West Papua menembak secara membabi buta ke arah para demonstran yang menyampaikan aspirasinya damai, penolakan terus terjadi hingga masa berakhirnya Orde Baru yang kemudian ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa di Indonesia.
Rakyat West Papua terus berjuang untuk memperoleh hak untuk menentukan nasibnya dengan cara-cara damai, namun berbagai upaya dan cara-cara damai yang disampaikan lewat demonstrasi damai terus dibungkam oleh negara Indonesia dan aparatusnya, pada tanggal 26 februari 1999 tim 100 utusan rakyat West Papua bertemu dengan presiden B.J Habibie untuk menyatakan akar masalah West Papua yaitu kesalahan sejarah terkait persoalan status politik dan menyampaikan niat rakyat West Papua untuk merdeka dan berdaulat penuh setara dengan bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Namun keinginan dan tekad bulat dari rakyat West Papua untuk melepaskan diri dari pemerintah Indonesia justru dihianati oleh elit politik lokal di West Papua yang menghamba kepada elit Jakarta dengan kompromi politik yang kemudian mengeluarkan “gula-gula politik” berupa UU nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus (OTSUS) Papua.
Otonomi khusus yang telah berjalan selama 20 tahun telah terbukti tidak membawah perubahan apapun, khususnya bagi rakyat West Papua, kondisi objektif yang dialami rakyat West Papua sangat jauh dari kata sejahtera, berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih terus terjadi, hak-hak dasar Rakyat asli West Papua (OAP), kondisi kesehatan dan pendidikan yang begitu buruk menjadi bukti kuat bahwa otonomi khusus telah GAGAL di West Papua.
Kami mengundang kawan-kawan untuk berpartisipasi dalam Diskusi yang akan dilakukan pada:
Hari/Tanggal: Senin, 12 Juli 2021.
Waktu: 15.00 Wib - Selesai.
Tempat: Asrama Mahasiswa Papua, Kamasan II, Cilaki. No. 59, Bandung.
Komentar
Posting Komentar