Bangsa West Papua Bukan Bagian Negara Kolonial Indonesia
Papua sebagai bangsa sendiri terlepas yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tentu mayoritas Bangsa Indonesia selalu berpikir satu arah sepaham dengan sistem negara, memang sangatlah sulit untuk menyakinkan rakyat Indonesia bahwa Rakyat-Banga West Papua adalah terpisah dari Indonesia!
Berbicara hal ini tentu membuat orang yang tidak sepaham akan mengatakan “Tidak Setuju”. Tapi, hal itu biasa–realitas sosial klise–bagi mereka yang tidak pernah mengerti hati Rakyat-Bangsa West Papua! bagi mereka yang menerima doktrinisasi untuk mempertahakan wilayah west papua sebagai koloni negara Indonesia!
Tapi yang jadi pertanyaan kita bersama adalah mengapa Rakyat Papua dan Papua Barat minta Merdeka? Mengapa ada Gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) yang melakukan perlawanan terhadap TNI-Polri? Dan di mana-mana ada dukungan solidaritas untuk Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat-Bangsa Papua?
Tentu saudara pembaca yang terhormat akan menjawab sesuai dengan sumber pikiran dan pandangan tentang isu kedua bangsa–Indonesia dan West Papua–yang besar ini. Namun, di sini penulis lebih lanjut menjelaskan/memberikan alasan subtansial dan objek permasalahan sejarah dan ahli-cendekiawan atau peneliti dalam perjalanan telah membuktikan bahwa dalam perjuangan pahlawan nasionalis Bangsa Indonesia seketika mengusir penjajah Kolonial Belanda, Jepang dari adminitrasi wilayah koloni Belanda atau Jepang yaitu Sabang sampai Ambon, tidak ada Orang Asli Papua (OAP) yang ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, bahkan tidak pernah ada Orang Papua Ras Melanesia dalam pertemuan rapat untuk pembentukan Negara Indonesia seperti BPUPKI, Sumpah Pemuda, Ideologi Pancasila, UU 1945. Namun dalam perjalanannya Ir. Sukarno, Muhammad Yanim, dkk. lainnya–mengklaim Indonesia adalah seluruh jajahan Hindia Belanda yang mencakup/meliputi seluruh negeri Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Timor Portugis, dan Papua.
Namun berbeda dengan Muhammad Hatta berpendapat bahwa: “Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta pada Sidang BPUPKI 11 Juni 1945 yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945.
Menurut Hatta, memasukkan Papua yang secara etnis berbeda dapat menimbulkan prasangka bagi dunia luar. Bertolak dari hukum internasional yang berlaku, tuntutan atas wilayah ini akan memberi kesan Indonesia memiliki nafsu imperialistis. Kecuali rakyat Papua sendiri yang menginginkan untuk bergabung, Hatta tidak menolak.
“Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ke tengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas?,” tanya Hatta kepada hadirin sidang.
Ternyata tindakan pencaplokan atau klaim Bung Karno, dkk. lainnya berambisi menjadi imprealis baru bagi Bangsa dan Rakyat West Papua, sejak mengeluarkan Dekrit Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta, selanjutnya pada 19 Desember 1961 di bawah pimpinan Suharto menjadi panglima tertinggi operasi militer di Papua, akibatnya lebih dari 80.000 orang Papua tewas dalam operasi-operasi militer Indonesia terhadap Bangsa West Papua.
Di sini Negara Indonesia melanggar yuridis karena Papua Barat (West New Gunea) telah merdeka sejak 1 Desember 1961 secara de facto dan de jure setara dengan kedaulatan Indonesia dengan batas wilyah Sabang sampai Ambon, sedangkan West Papua–Sorong sampai Merauke. Jadi, tindakan dari TRIKORA adalah tindakan makar oleh militer Indonesia terhadap Bangsa West Papua.
Sengketa perebutan wilayah West Papua oleh Belanda dan Indonesia tidak selesai. Akhirnya masalah ini dibawa ke tingkat internasional dengan melakukan perjanjian-perjanjian status West Papua, yang kita kenal dengan “15 Agustus 1962 New York Agrement [di Amerika] selanjutnya 30 September 1962 Roma Agreement di Italia”. Dalam rapat resmi ini tidak melibatkan orang West Papua sebagai ahli waris atau delegasi dari West Papua. Padahal jika tinjau kembali sejak saat itu ada banyak intelektual orang Papua yang terdidik melalui Pamong Praja atau Sekolah Polisi yang didirikan oleh Pemerintah Nederland [dengan melahirkan] sekitar 500 terdidik OAP sejak 1944-1949.
Selanjutnya, 1 Mei 1963 peralihan adminitrasi dari badan panitia UNTEA kepada Pemerintah Indonesia dan sejak saat itulah Indonesia menguasai West Papua dengan kekuatan militer, membantai, membungkam ruang demokrasi, dan berbagai diskriminasi dan rasialis karena Indonesia lebih superior, menganggap bahwa budaya orang Papua adalah primitif (inferior) sehingga Indonesia memaksakan rakyat Papua untuk mengajarkan Bahasa Indonesia, pakaian adat secara kasar dan paksa gantikan dengan pakaian modern dan masih banyak peristiwa.
Sejak 26 Juli 1965, gencarnya serangan militer Indonesia disambut oleh pemberontakan OPM yang dikomandoi para tokoh Pegunungan Arfak dan Biak. Pemimpinnya ialah tokoh karismatik Johan Ariks yang menggandeng bekas anggota Papoea Vrijwilligers Korps (PVK) untuk mempertebal kekuatan tempur.
Pemberontakan itu mereka luncurkan di Kebar, Manokwari. Ferry Awom, Lodwick dan Barren Mandatjan terlibat sebagai pimpinan. Pemberontakan itu bertujuan mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, sebagaimana dikisahkan George Junus Aditjondro dalam Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan HAM (2000).
Sebelum PEPERA 1969 pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Suharto melakukan perjanjian kontak kerja PT Freeport pada 7 April 1967 di West Papua antara Pemerintah Indonesia dan Amerika untuk eksploitasi dan gadai tanah Papua kepada Imperialis Amerika.
Penentuan Pendapat Rakyat (PERERA) atau dalam versi Bahasa Inggris Act Free Choice/Pemilihan Bebas. Namun PEPERA dilakukan di bawah todongan senjata militer Indonesia, melanggar prinsip-prinsip demokrasi internasional, dan cacat hukum, hal ini dapat kita buktikan melalui buku-buku sejarah PEPERA bahwa kejahatan Pemerintah Indonesia berkampanye lewat mimbar puplik, dengan mengatakan PEPERA kita harus menangkan secara wajar dan tidak wajar, dalam pratek pemilihan dari populasi jumlah penduduk OAP 800.000 jiwa, militer Indonesia seleksi dan mendapatkan hanya 1.025 orang sebagai [pengguna] hak memilih, peserta tersebut dibacakan teks yang sudah siapkan oleh militer Indonesia. Jadi, Pepera ini penuh dengan kejahatan dan kebohongan serta manipulatif.
Pada 1 Juli 1971 Organisasi Papua Merdeka (OPM) mendeklarasikan Negara Papua Barat oleh Seth Jafet Rumkorem dan Jacob Prai manifesto politik dengan UU dan Kabinet secara de facto dan de jure. Namun Pemerintah Kolonial Indonesia menolak dan mengatakan:
“Sesuai perjanjian New York Agreement bahwa keberadaan Indonesia berlaku selama 25 tahun di atas Papua Barat.”
Maka tokoh intelektual asal Papua pada tahun 1988 mendeklarasikan manifesto politiknya di Holandia [sekarang: Jayapura], West Papua. Tokoh pejuang ini tidak lain adalah Thomas Wanggai yang ditahan di Jakarta yang pada akhirnya meninggal di dalam penjara sebagai martir perjuangan pembebasan nasional Bangsa Papua Barat.
Konflik terus terjadi hingga pada tahun 1998/99 waktu yang sama juga terjadi konflik di Timur Leste kemudian Lembaga HAM PBB mengirim surat mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan kebijakan atau langkah yang baik, Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Habibi telah menyelenggarakan Referendum di Timur Leste sedangkan di Papua, juga meminta Indonesia [lewat] delegasi tim 1000 [yang] datang ke Jakarta dan aspirasi yang dibawa adalah tentang hak penentuan nasip sendiri. Namun Pemerintah RI menolak dan mengatakan pikir Kembali atas aspirasi-aspirasi ini.
Kemudian sebagai jawabannya Pemerintah Indonesia melalui Presiden Megawati yang mengesahkan UU No. 21 Tahun 2001. UU ini mengatur dan memberikan kewenangan kepada pemerintah sebagai bentuk desentralisasi, atau kata lainya Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Namun Otsus justru menghidupkan aksi-aksi perlawanan oleh mayoritas rakyat West Papua, karena UU tidak diimplementasi dengan baik selama 20 tahun berjalan di West Papua; pelanggaran HAM semakin bergejolak, eksploitasi SDA semakin aktif, marjinalisasi,pembungkaman hak dan ruang demokrasi, perampasan hak ulayat.
Referensi:
https://historia.id/politik/articles/ketika-hatta-menolak-papua-vqjeJ/page/3 (diakses 1 Juni 2021)
https://tirto.id/bagaimana-bangsa-papua-memproklamasikan-membela-kemerdekaannya-emy3 (diakses 2 Juni 2021)
George Junus Aditjondro, (2000), Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan HAM.
Socratez Sofyan Yoman, (2012), Saya Bukan Bangsa Budak
Komentar
Posting Komentar